Prabowo di negara China dan simbol nasionalisme dalam diplomatik
BURCHARRY.COM – Presiden Prabowo Subianto tampaknya selalu mengenakan peci hitam setiap kali berkunjung ke luar negeri. Dalam kunjungan pertamanya ke China pada Jumat (9/11/2024), Prabowo mengenakan peci dan jas hitam saat tiba di Bandara Internasional Beijing Capital di Beijing. Tidak hanya itu, ia selalu mengenakan peci tersebut saat berkunjung ke luar negeri, bahkan saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Misalnya, pada 13 September 2024, Ketua Umum Partai Gerindra ini mengenakan peci saat berkunjung ke Vietnam. Tahun lalu, pada 21 Juli 2023, Prabowo juga mengenakan peci saat menghadiri pertemuan 2+2 menteri luar negeri dan pertahanan Indonesia dan Prancis di Paris. Prabowo yang selalu mengenakan peci saat berkunjung ke luar negeri berbeda dengan dua presiden sebelumnya, Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Peci hitam identik dengan Bung Karno.
Secara historis, penggunaan topi hitam pada acara kenegaraan tidak lepas dari peran Presiden Sukarno: Kompas.id (25/4/2023) melaporkan bahwa sebelum Indonesia merdeka, topi sering dipakai oleh para pedagang dan rakyat kecil lainnya. Pada saat itu, topi bukanlah simbol nasionalisme, juga bukan penanda perjuangan atau pergerakan.
Makna pemakaian topi baru diperluas ketika Bung Karno mulai memakainya selama perjuangan kemerdekaan. Namun demikian, Sukarno bukanlah aktivis kemerdekaan pertama yang mengenakan peci, karena Cipto Mangunkusumo, yang membelot ke Belanda pada tahun 1913, adalah orang pertama yang mengenakan peci beludru hitam. Hubungan antara peci dan Bung Karno dijelaskan dalam buku Bung Karno: Biografi Presiden Sukarno, yang ditulis oleh Cindy Adams.
Cindy Adams menulis bahwa peci, sebagai tanda pengenal dan simbol kebangsaan, tidak luput dari campur tangan Bung Karno. Saat itu, Bun Carnot merasa rekan-rekan seperjuangannya berpura-pura modern dan berbudaya dengan meniru penampilan kolonial Eropa. Mereka memilih setelan jas yang rapi dan menolak untuk mengenakan kerudung. Padahal, penampilan ini justru menjauhkan mereka dari rakyat yang mereka lawan.
Menurut Bung Karno, kelompok terpelajar saat itu merasa tidak pantas mengenakan atribut yang identik dengan rakyat, seperti blangkon dan sarung yang dikenakan oleh orang Jawa, tetapi juga topi yang, menurut Bung Karno, “sering dipakai oleh tukang becak dan rakyat jelata”.
Bung Karno bersikeras bahwa seorang pemimpin harus dekat dengan rakyatnya. Dia kemudian memutuskan untuk mengenakan topi hitam untuk menunjukkan kepada rekan-rekannya bahwa seorang pemimpin harus menyatu dengan rakyat, bukannya memisahkan diri dari mereka dengan cara Barat.
Simbol-simbol nasionalisme Bung Karno
Diadaptasi dari Kompas.com (21/4/2023). Menurut sebuah artikel berjudul ‘Sejarah Penutup Kepala di Indonesia: Studi Kasus Pergeseran Makna Tanda Peci Hitam (1908-1949), Bung Karno mengenakan peci sebagai tanda pengenal dalam pertemuan-pertemuan organisasi. Bun Carnot dinyatakan mengenakan peci sebagai tanda pengenal dalam rapat-rapat organisasi. Awalnya, Bung Karno sempat ragu untuk mengenakan peci. Namun, keyakinannya tumbuh saat melihat penjual sate tusuk di dekat tempat pertemuan Jong Java.
Ia kemudian memutuskan untuk tampil mengenakan topi tersebut sebagai tanda nasionalisme dan pergerakan pemuda. Pada pertemuan tahunan yang diadakan oleh Jong Java cabang Surabaya, Sukarno tidak hanya dengan antusias mengenakan topinya, tetapi juga menolak untuk berbicara dalam bahasa Belanda, dan lebih memilih untuk berbicara dalam bahasa Jawa Ngoko. Tidak hanya itu, ia bahkan diminta untuk melepaskan topi yang ia kenakan pada konferensi Jong Java di Surabaya pada bulan Juni 1921.
Namun, Bung Karno yang saat itu masih berusia 20 tahun menolak dengan prinsip bahwa ia adalah seorang pemimpin, bukan pengikut. Sebelum menghadiri pertemuan tersebut, ia bersembunyi di balik penjual sate dan mengamati teman-temannya yang tidak mau memakai tutup kepala karena membuat mereka terlihat kebarat-baratan. Begitu berada di ruang rapat, semua mata tertuju pada Sukarno. Pada saat itu, Sukarno mencoba memecah keheningan dengan mengatakan: ‘Untuk perjuangan kita, kita harus ingat bahwa pemimpin berasal dari rakyat.
Bung Karno selalu menggunakan kata-kata itu.
Pada awal tahun 1928, seperti yang dilansir Kompas.id (6/5/2023), Bung Karno pernah mengusulkan agar semua anggota partai politik yang didirikannya, PNI, mengenakan seragam. Usulan ini sempat menjadi kontroversi, termasuk oleh Ali Sastroamidjojo, yang kemudian menjadi duta besar dan perdana menteri pada tahun 1950-an.
Menurut Ali Sastroamidjojo, orang Indonesia tidak boleh mengenakan seragam seperti orang Eropa karena bertentangan dengan identitas nasional mereka. Alih-alih hanya mengenakan seragam, Ali mengatakan bahwa orang Indonesia harus mengenakan seragam tanpa sepatu atau sandal, yang merupakan sesuatu yang revolusioner di mata rakyat. Parlemen tiba-tiba menjadi riuh karena perdebatan antara Sukarno dan Ali Sastroamidjojo.
Kepada Ali, Bung Karno dengan tajam berkata:
“Saya kira tidak. Banyak orang yang berkaki ayam, tetapi mereka bukan revolusioner. Banyak pejabat tinggi yang memakai sarung, tetapi mereka bekerja sama dengan penjajah sepenuh hati. Dedikasi pada perjuanganlah yang menunjukkan bahwa Anda adalah seorang revolusioner”.
Meskipun pandangannya tidak diterima, Bung Karno dan sebagian besar pejabat pergerakan tetap mengenakan celana panjang, jas, kemeja putih, sepatu dan dasi. Pada kesempatan lain, ia menekankan perlunya simbol individualitas Indonesia dan menganggap pesi sebagai pilihan yang tepat.
“Kita membutuhkan simbol individualitas Indonesia. Pesisir itu unik dan spesifik untuk masyarakat kita, seperti yang dikenakan oleh para pekerja Melayu. Mari kita kenakan topi ini dan mengangkat kepala kita tinggi-tinggi sebagai simbol Indonesia Merdeka.”
Sejak saat itu, peci hitam tidak pernah hilang dari kepala para pendiri bangsa. Pada akhirnya, peci menjadi simbol nasionalisme. Dengan itu, makna peci mulai berubah, dari identitas rakyat jelata menjadi simbol perjuangan, nasionalisme, dan kerakyatan. Identitas topi, yang konsep simbolisnya diperkenalkan oleh Sukarno, telah digunakan hingga hari ini, terutama oleh pejabat pemerintah dan politisi.